RanoCenter's Blog

RanoCenter's Blog ini akan mendampingi web www.RanoCenter.net yang telah lebih dulu publish. Artikel, berita, diskusi, forum, dll yang berkaitan dengan Rekam Medis & Manajemen Informasi Kesehatan bisa dikembangkan di Blog ini.

Name:
Location: Semarang, Jawa Tegah, Indonesia

Hai, saya Rano. Saya alumni FK-Undip & S2 SimKes di Undip juga. Kesibukan utama saya mengajar di berbagai D3 Kesehatan (APIKES, AKPER, AKBID, ATRO, dll), S1 (Keperawatan, Kedokteran), dan S2 (SimKes, Hukum Kesehatan). Kesibukan lainnya sebagai konsultan bidang Rekam Medis & Manajemen Infomasi Kesehatan. Plus..mengelola RanoCenter (Center for Health Information Management Dvelopment) dan mengelola beberapa institusi pendidikan bidang kesehatan.

06 July 2009

DRAFT PERMENKES TERBARU
(Sutopo Patria Jati)


Temans yg budiman. ini ada sedikit oleh-oleh dari Cikarang,Bekasi saat diminta DSF (konsorsium multidonor) untuk ikut lokakarya Norma, Standar, Kriteria & Prosedur (NSPK) Bidang Kesehatan yang telah didesentralisasikan ke daerah sesuai amanata PP 38 th 2007 tentang pembagian kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten.

Beberapa draft permenkes ttg NSPK yang ingin dikaji & difinalisasi melalui lokakarya antara pusat & perwakilan daerah ( 33 provinsi & 20 kab/kota se- Indonesia) antara lain sebagai berikut:
RANCANGAN PERMENKES (NSPK) thn 2009:

  1. PERIJINAN RUMAH SAKIT

  2. KLASIFIKASI RUMAH SAKIT UMUM

  3. KLASIFIKASI RUMAH SAKIT KHUSUS

  4. LABOTRATORIUM KLINIK

  5. FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN SWASTA

  6. MANAJEMEN PUSKESMAS

  7. PENGEMBANGAN & PENYELENGGARAAN POSKESDES

  8. PENDAYAGUNAAN PENGOBAT TRADISONAL ASING/ PENYELENGGARAAN PENGOBATAN TRADISIONAL ASING

  9. SERTIFIKASI, REGISTRASI, DAN LISENSI TENAGA KESEHATAN BADAN PPSDM KES.

  10. PENYELENGGARAAN PELATIHAN DI BIDANG KESEHATAN

  11. PEDOMAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN

  12. PENETAPAN DAN PENCABUTAN PENETAPAN DAERAH WABAH, UPAYA PENANGGULANGAN WABAH, DAN TATA CARA PELAPORAN KEGIATAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN WABAH

  13. JEJARING LABORATORIUM DIAGNOSIS PENYAKIT INFEKSI NEW EMERGING DISSEASE & RE-EMERGING DISSEASE

  14. PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN PUSAT PJK

  15. PEMBIAYAAN KESEHATAN BADAN LITBANGKES

  16. PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

  17. PENGIRIMAN DAN PENGGUNAAN SPESIMEN UNTUK KEPENTINGAN PELAYANAN KESEHATAN, PENDIDIKAN KESEHATAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN SERTA KEPENTINGAN LAINNYA.

  18. PERIZINAN APOTIK DITJEN BINFAR DAN ALKES

  19. PERIZINAN PBF

  20. PERIZINAN PBBBF

  21. PERIZINAN INDUSTRI FARMASI

  22. PERIZINAN SARANA TOKO OBAT/PEDAGANG ECERAN OBAT

  23. PEDOMAN IZIN PENYALUR ALKES

  24. PEDOMAN PELAYANAN IZIN SUB DAN CABANG PENYALUR ALKES

  25. PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN SAMPLING ALKES DAN PKRT

  26. PEDOMAN PELAYANAN PERIZINAN TOKO ALKES

  27. PEDOMAN PELAYANAN SERTIFIKASI PENYULUHAN PERUSAHAAN RUMAH TANGGA ALKES DAN PKRT

  28. IZIN EDAR ALKES & PKRT

  29. DISTRIBUSI ALKES & PKRT

  30. PENGAWASAN ALKES & PKRT


PS:
sekalipun dilakukan pembahasan scr marathon, memang tak mungkin cukup untuk menuntaskan semua draft permenkes tersebut.Saat ini sekitar 10 draft permenkes ttg NSPK yang segera ditanda tangani Menkes targetnya tgl 9 Juli 2009 sesuai batas akhir 2 tahun yg diamanatkan oleh PP38 th 2007.

Salam hangat penuh manfaat!

Sumber: message via Facebook ke RanoCenter

Pemikiran tentang Permenkes 269/2008

Pertanyaan seputar Bab I mengenai Ketentuan Umum pada PERMENKES Nomor 269/MenKes/Per/III/2008 tentang REKAM MEDIS


(Gemala Hatta)

Penulis adalah pemerhati perkembangan manajemen informasi kesehatan (paradigma baru rekam medis) di Indonesia & Direktur International Federation on Health Records Organizations (IFHRO) untuk South East Asian Region (SEAR) (2007-2010)


Pada tanggal 12 Maret 2008, Departemen Kesehatan menerbitkan peraturan baru tentang Rekam Medis dengan nomor 269/MenKes/Per/III/2008 untuk merevisi Permenkes lama no 749a/Menkes/PER/XII/89 tahun 1989 tentang Rekam Medis (Medical Record).

Alasan perlunya merevisi Permenkes 749a tahun 1989 tersebut karena usianya sudah hampir dua dasawarsa sementara perkembangan teknologi informasi dan teknologi komunikasi (disingkat TIK) terkini yang mendunia telah menggugah banyak rumah sakit (terutama suasta) di Indonesia untuk mengelektronisasikan manajemennya. Menyadari desakan tersebut, pada tahun 2004-2005 Sub Dit Keterapian Fisik pada Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medis sebagai sub dit yang ditugaskan secara khusus untuk membina manajemen rekam medis rumah sakit telah memprakarsai tersusunnya draft revisi permenkes 749a (2005).
Sayangnya saat draft revisi itu selesai disusun, terjadi re-organisasi di Departemen Kesehatan yang mengitegrasikan sub dit Keterapian Fisik ke dalam direktorat lain (Bina Penunjang Medis) dan draft awal yang sudah dibahas oleh Biro Hukum dan Organisasi (Hukor) Dep. Kes RI menjadi terhenti dan sesudahnya isu ini terkalahkan dengan berbagai kesibukan Biro Hukor lainnya.

Pada kepentingan yang berbeda, dengan terbitnya UU Praktik Kedokteran (UU PK) no. 29 tahun 2004 yang memuat berbagai ketentuan tentang Rekam Medis dan dengan dikeluarkannya buku Manual Rekam Medis (2006) oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), telah mendorong KKI untuk merevisi permenkes Rekam Medis no. 749a tahun 1989 tersebut. Atas desakan KKI, selanjutnya Biro Hukor mengundang beberapa pihak terkait untuk merevisi permenkes 749a. Sayangnya berbagai rapat itu nyaris tidak menggunakan referensi draft permenkes buatan Sub Dit Keterapian Fisik pada Dit. Keperawatan - 2005. Kendala rapat adalah perihal kualitas keluaran yang belum maksimal. Rapat kerap mendadak, yang diundang sering terbatas dan atau peserta yang hadir berubah-ubah dan kurang memahami materi. Rapatpun tidak kontinyu, lanjutan rapat terulur-ulur tidak terprogram. Begitu pula, saat pembahasan draft belum tuntas diselingi jeda rapat hingga setahun lebih ternyata Permenkes baru tentang rekam medis telah diterbitkan dengan nomor 269/MenKes/Per/III/2008. Hal mana terutama sangat disayangkan Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia (PORMIKI) dan juga oleh peserta dari berbagai profesi kesehatan yang terlibat dengan rekaman seperti dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) serta dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI).

Demikian juga, pasal-pasal yang dimunculkan dalam permenkes baru Rekam Medis (269 tahun 2008) itu mengundang banyak pertanyaan, terutama karena isinya terasa kental sebagai turunan dari UU PK 29/2004 sehingga difokuskan bagi kepentingan dokter dan dokter gigi semata. Padahal rekaman medis mutlak dilaksanakan oleh semua tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) no.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Demikian pula Permenkes 269 juga memiliki beberapa ketentuan lainnya yang tidak tepat dengan dasar praktik manajemen rekam medis, termasuk bagi pihak ke-3. Terlebih, bila isi peraturan itu dikaitkan dengan praktik paradigma rekam medis terkini yang sejak dua dasawarsa ini telah bertransformasi menjadi paradigma manajemen informasi kesehatan.

Dalam evaluasi satu tahun berjalannya Permenkes 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis ini, organisasi profesi Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia (PORMIKI, berdiri sejak 1989 dengan 14 DPD) serta beberapa organisasi profesi kesehatan lainnya seakan merasakan adanya kejanggalan dan ketidakjelasan dalam Permenkes 269/MenKes/Per/III/2008.

Marilah kita mulai mengevaluasi Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 – 8 :

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

4. Tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien selain dokter dan dokter gigi.

5. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

6. Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.

7. Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging), dan rekaman elektro diagnostik.

8. Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.

Terhadap Pasal tersebut di atas ada beberapa hal yang dipertanyakan secara mendasar.

1. Tentang ayat 1, kata ‘berkas’ dalam ayat ini masih divisualkan dalam pengertian manual yaitu sebagai tumpukan lembaran kertas sedangkan dalam era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terkini tidak lagi dijumpai ‘berkas’ karena rekaman dilakukan secara elektronisasi dan masukan dalam dunia maya merupakan butiran (variabel) informasi tanpa ujung. Hal ini disebabkan karena secara teknologi jejaring, perolehan data dan informasi (kesehatan) dapat dimungkinkan berasal dari sumber (pelayanan kesehatan) manapun. Sistem manajemen informasi kesehatan (MIK) yang menggunakan TIK juga harus mengatur kewenangan data dan informasi, yakni seputar sekuritas, privasi, kerahasiaan dan keamanannya terhadap pasien, penerima, pengguna dan lainnya.

2. dokter dan dokter gigi (Bab I pasal 1 ayat 2) dan tenaga kesehatan tertentu (ayat 4) :

Usulan perbaikan kalimat ayat ini sebagai berikut :

  • a. Ke DUA ayat di atas (2 dan 4) seharusnya disatukan dan Dep Kes cq Biro Hukor seharusnya wajib konsisten dengan peraturan yang sudah ada karena ke duanya termasuk sebagai tenaga kesehatan (PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan) dan tidak dipisahkan! Sampai kapanpun Permenkes Rekam Medis seharusnya berlaku umum bagi semua tenaga kesehatan dan bahkan bagi tenaga NON kesehatan yang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan pasien (preventif, kuratif, edukatif, promotif). Oleh karena itu kelompok tenaga yang terlibat bagi kesehatan pasien tidak dieksklusifkan hanya untuk kepentingan dokter dan dokter gigi saja. Permenkes ini bukanlah untuk dijadikan sebagai alat ‘politik’ turunan UU PK.

  • b. Walaupun begitu, bila tetap ingin mempertahankan 2 ayat (ayat 2 dan 4) maka khususnya untuk ayat 4 tidak lagi digunakan kata tenaga kesehatan “tertentu” namun diubah menjadi tenaga kesehatan “lain” dan tenaga non kesehatan yang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan pasien. Mengapa ? lihat keterangan di bawah ini :
Permenkes 749a/1989 bab I ayat d :

  • definisi ‘tenaga kesehatan lain’ adalah ‘tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien’ (tanpa harus menyebutkan ‘selain dokter dan dokter gigi’).

  • Kata “lain” pada “tenaga kesehatan “lain” mudah dipahami dan sudah populis (merakyat)
Permenkes 269/2008 bab I ayat 4 :

  • definisi dari tenaga kesehatan tertentu (menurut Permenkes 269/2008 bab I ayat 4) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien selain dokter dan dokter gigi.

  • Kata “tertentu” tidak pernah ada dalam Permenkes 749a/1989; UU Kesehatan 23/1992; Peraturan Pemerintah RI no. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan; bahkan juga tidak ada pada sumber utama permenkes 269: UU Praktik Kedokteran 29/2004

  • Kata “tertentu” istilah yang tidak lazim dan menggantung serta selalu mengundang pertanyaan ‘tenaga kesehatan yang mana? ’ okupasi terapi, fisioterapi atau apa? … ??

  • Perbaiki menjadi tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan yang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan pasien.
3. Sarana pelayanan kesehatan (SPK) (Permenkes 269/2008 ayat 3)

Permenkes 749a/1989 tentang kata ’SPK’

  • SPK adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggaraan upaya kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat nginap yang dikelola oleh Pemerintah atau swasta.
Permenkes 269/2008 ( ayat 3) tentang kata SPK

  • SPK adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’.

  • Definisi SPK di atas sama persis seperti dalam UU PK 29/2004
Dalam UU Kesehatan no. 23/1992 maupun PP 32/1996 tidak ada kata ‘sarana pelayanan kesehatan’(SPK).

Tanggapan tentang Sarana pelayanan kesehatan (SPK) (ayat 3) yaitu :

a. definisi SPK dalam Permenkes lama (749a) justeru lebih menerangkan lokasi kerja (rawat jalan maupun rawat nginap) dan kepemilikan (pemerintah atau swasta). Bahkan dengan bertambahnya waktu, variasi rawat jalan dan rawat nginap yang semakin kompleks dan modernpun sudah terakomodir dalam definisi SPK lama (749a). (Misalnya pada dokter keluarga, praktek bersama dll). Sedangkan dalam definsi SPK baru (269) perihal lokasi dan kepemilikan tidak dimasukkan!
(Memasukkan kata-kata ”..yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’ pada hampir seluruh isi ayat-ayat Permenkes 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis adalah suatu kekeliruan! )

b. Permenkes 269 (mengikuti UU PK 29/2004) mendefinisikan SPK sebagai tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’.

Adanya kalimat sambung ’..yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’ jelas-jelas tidak tepat digunakan dalam permenkes tentang rekam medis, terutama mengingat luasnya cakupan praktik rekaman medis.

Mari kita analisis,

Pertama, dalam definisi SPK (269) ada kata ’upaya pelayanan kesehatan (UPK)’ dan ’... praktik kedokteran atau kedokteran gigi’ :
Definisi SPK adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan (UPK) yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

Dalam UU Kesehatan 23/1992 istilah yang digunakan adalah upaya kesehatan yang didefinisikan sebagai ’setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat’. Definisi ini disokong dalam PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Dengan mencantumkan kata SPK versi Permenkes 269 di atas sebagai ’..yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’ lalu bagaimana dengan rekam medis yang dicatat/direkam oleh tenaga kesehatan seperti oleh tenaga kesehatan masyarakat yang bekerja di SPK dengan kondisi yang mungkin terbatas dan tidak masuk pada kategori ..yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’ disaat melaksanakan UPK ?.

Pertanyaannya, apakah pembuktian di tempat itu dinyatakan tidak syah karena SPK-nya tidak mengikuti standar kelayakan atau sesuai akreditasi untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi ? Padahal kita mengharapkan bahwa rekaman medis wajib dilakukan di segala tempat dengan kondisi apapun oleh semua tenaga kesehatan, termasuk oleh pekerja sosial kesehatan (social worker) dan psikolog (yang bukan bagian dari tenaga kesehatan) dan lainnya namun berwewenang dalam peneyelengaraan kesehatan seperti ikut menyembuhkan, mengobati pasien. Artinya, sesederhana apapun SPK namun bilamana ada pasien sakit, wajib dilakukan pencatatan/rekaman. Bahkan masyarakat umum, termasuk keluarga atau teman terdekatpun dapat secara spontan melakukan upaya kesehatan (definisi dalam UU Kesehatan 23/1992) dengan mencatat riwayat sakit pasien untuk kemudian disimpan dan atau dilaporkan kepada setiap tenaga kesehatan yang menangani atau merawat pasien. Dewasa ini praktik pembuatan rekam medis atau rekam kesehatan pribadi (personal health record) juga menjadi kecenderungan (trend) gaya hidup masyarakat modern dan menjadi hak individu yang bebas dilakukan di luar SPK baik dilakukan sendiri atau oleh per individu/keluarga. Dewasa ini praktik pembuatan rekaman medis atau rekaman kesehatan pribadi (personal health record) secara perlahan cenderung menjadi gaya hidup masyarakat modern. Bahkan situs gratis tersebar di dunia maya (mis. http://www.myphr.com atau http://www.google.com/health ). Kegiatan ini menjadi hak individu atau hak keluarganya dalam upaya pribadinya men-swakelola rekaman kesehatannya secara bebas.

Kedua, apakah rekaman harus selalu menunggu persetujuan dari SPK yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi? (Permenkes 269) padahal keprofesional para tenaga kesehatan selain dokter dan dokter gigi sudah diakui oleh akademi ataupun fakultas penghasil keprofesionalan masing-masing ? Tenaga kesehatan selain dokter dan dokter gigi, termasuk petugas kesehatan masyarakat, ahli gizi maupun non tenaga kesehatan seperti psikolog, social worker bahkan anthropolog kesehatan dan lainnya yang bisa saja bekerja pada SPK yang sederhana sebagai tim kesehatan ataupun mandiri. Demikian pula, bagaimana dengan kegiatan rekaman yang dilakukan petugas kesehatan non dokter/dokter gigi yang mengunjungi masyarakat seperti di lereng gunung, tempat terasing dan lainnya yang jauh dari SPK modern sebagai yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi? Apakah rekaman mereka yang di luar kategori SPK yang maju lalu dianggap tidak layak ?. Apalagi di jaman elektronisasi dalam hal mana tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan juga bisa berinteraksi dengan sarana TIK selama 24 jam pada lokasi apapun dan kepemilikan SPK siapapun. Dan, yang semuanya demi pasien !.

Usulan revisi ayat 3 adalah : tidak perlu mencantumkan kata-kata ..yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi’.
Definisi SPK pada penjelasan lama (749a) ’tempat yang digunakan untuk menyelenggaraan upaya kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat nginap yang dikelola oleh Pemerintah atau swasta’. sudah memadai, bahkan dengan berkembangnya peran masyarakat modern (individu, keluarga, lingkungan) sebagai penyokong data/informasi awal (mis. personal health record) yang terjadi di luar SPK, justeru semakin memperlihatkan betapa definisi SPK sebagai turunan UUPK untuk permenkes rekam medis baru (269) semakin jauh dari filosofi praktik rekaman medis.

Untuk itu ayat ini perlu dikoreksi bahwa selain kembali menggunakan definisi SPK seperti 749a, juga perlu diperkaya dengan rekaman yang terjadi di luar SPK (seperti untuk personal health record, di lapangan (petugas kesehatan masyarakat, barefoot doctors dll) namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Oleh karena itu ayat tentang SPK ini khususnya untuk rekam medis atau rekam kesehatan amat perlu dikoreksi.

4. Pasien

Dalam UU PK 29/2004 dan Permenkes 269 dikatakan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Definisi yang menerangkan tentang pasien di atas tidak ada dalam Permenkes 749a maupun dalam UU Kesehatan 23/1992. Bagi kepentingan permenkes tentang Rekam Medis, definisi tentang pasien yang dikaitkan dengan kata ‘dokter dan dokter gigi” seharusnya cukup diganti dengan tenaga kesehatan. Alasannya karena isi rekam medis berasal dari catatan yang diberikan oleh semua tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan. Hal mana sesuai dengan PP 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan.

5. Catatan

Dalam Permenkes 269 definisi catatan adalah ‘tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan’. Definisi ini tidak ada dalam UU Kesehatan 23/1992.

  • Komentar : keseluruhan isi Permenkes 269 tidak untuk dokter atau dokter gigi saja tetapi untuk semua tenaga kesehatan maupun tenaga yang berwewenang lainnya sehingga pencatatanpun tidak untuk dibuat khusus bagi ‘dokter atau dokter gigi’ seperti itu.

  • Usul : catatan adalah data mengenai siapa, apa, dimana, kapan dan bagaimana mengenai seluruh pemberian pelayanan dan atau tindakan yang diberikan kepada pasien oleh tenaga kesehatan dan tenaga yang berwewenang. Catatan merupakan dokumen yang ditulis secara manual ataupun elektronis berisikan informasi tentang pelayanan rawat jalan (ambulatory ) atau rawat inap.

Bila diuraikan dapat ditambahkan bahwa dalam catatan terdapat 7 jenis informasi yaitu :

(a) data terstruktur, diskrit (laboratorium, medikasi, catatan secara on-line dan dokumentasi, kartu index utama pasien/registerasi); (b) data diagnostik dengan pencitraan (catoda tube, magnetic resonance, radiologi digital kedokteran nuklir; pencitraan patologi, histology); (c) data grafik vektor, EKG, EEG, getaran janin); (d) data audio (suara atau detak jantung); (e) data video (ultrasound dan pemeriksaan katerisasi jantung); (f) data teks tidak terstruktur (laporan radiologi/patolog, laporan medis, laporan keuangan); (g) dokumen pencitraan atau manual (catatan dengan tulisan tangan dan gambar, formulir perijinan yang ditandatangani pasien).

(Uraian 7 jenis informasi ini dapat dimasukkan dalam bab I ataupun lebih tepat dalam bab yang membahas secara lebih teknis)

6. Dokumen

Dalam Permenkes 269, definisi dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging), dan rekaman elektro diagnostik.

  • Komentar : perkataan dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu diusulkan untuk diganti.

  • Usul : dokumen kesehatan adalah catatan yang dibuat oleh tenaga kesehatan (ganti kata-kata dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu) tambahkan: dan tenaga non kesehatan lain yang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan pasien, yang digunakan sebagai tanda bukti berbagai kepentingan administratif, hukum, keuangan, riset, edukasi maupun dokumentasi.

(isi catatan kesehatan sudah diterangkan dalam butir ayat di atas sedangkan isi rekam medis dapat dilihat pada bab yang khusus membahas tentang hal tersebut).

7. Organisasi Profesi


Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi. Siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap rekaman ?

749a/1989 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat terakhir (e) menyebutkan :

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pelayanan Medis dan atau Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat


Permenkes 269/2008 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat terakhir (8) menyebutkan :

Organisasi Profesi yang definisinya adalah Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Pertanyaannya : kemana fungsi intstansi pemerintah ? Direktur Jenderal vs Organisasi Profesi ?

Kemana instansi pemerintah (dua direktorat jenderal) yang seharusnya bertugas untuk membina dan mengawasi jalannya rekam medis, khususnya dalam pembinaan dan pemantauan tentang kualitas rekaman di sarana pelayanan kesehatan di tanah air? Mengapa justeru dialihkan kepada organisasi profesi yang hanya menyebut IDI dan PDGI saja?

Bilamana pada Permenkes 749a/1989 Bab I pasal 1 ayat e tertera adanya dua Direktorat Jenderal (DJ) yang bertanggungjawab dalam pembinaan dan pemantauan tentang kualitas rekaman pada SPK, ternyata dalam Permenkes 269/2008 (ayat 8) peran dua DJ itu sebagai aparat pemerintah yang harus menjalankan hal itu tidak disebut lagi tetapi diganti oleh organisasi profesi (maksudnya IDI, PDGI).

Kemana larinya peran pemerintah? ternyata dalam Bab VII pasal 16 tentang Pembinaan dan Pengawasan tertera bahwa tugas itu ada pada Dinas Kesehatan Propinsi, Pemerintah Daerah dan u>organisasi profesi. Hal ini tentunya terkait dengan otonomi daerah meski kemampuan tiap wilayah untuk menjalankannya tidak sama, namun tentang tugas Pembinaan dan Pengawasan juga diletakkan dibahu ‘organisasi profesi’ termaksud yang tentunya seperti yang disebut dalam bab I dengan organisasi profesi hanya IDI dan PDGI saja!.

Mengapa pembinaan hanya kepada dua Organisasi Profesi (OP) saja ? Dengan membaca Permenkes 269/2008 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat terakhir (8) yang mencantumkan keberadaan hanya dua OP saja yaitu IDI, PDGI, maka artinya, setiap kali ada ayat di Permenkes 269 menyebut kata ‘OP’, definisinya akan sama seperti pada pasal 1 ayat 8 yakni OP termaksud adalah dua profesi IDI dan PDGI saja !

Pertanyaannya adalah: apakah di RI ini profesi kesehatan hanya IDI dan PDGI ? Sementara organisasi profesi spesialisasi kedokteran lainnya begitu beragam dengan standar profesinya masing-masing? Tampaknya semua profesi kedokteran memang digabungkan dalam IDI. Lalu bagaimana dengan organisasi profesi kesehatan lain yang anggotanya adalah tenaga kesehatan (PP 32/1996) yang juga terlibat dalam pelayanan kesehatan dan harus mengisi rekam medis seperti perawat, keteknisian medis, keterapian fisik dan lainnya yang organisasi kesehatannya sudah terdaftar di Departemen Dalam Negeri? Lalu, bagaimana dengan psikolog, pekerja sosial (social worker) kesehatan, anthropologi kesehatan dan lainnya yang menjadi bagian dari tim kesehatan dan dapat saja mengisi rekam medis bila memang dimungkinkan? Mereka juga memiliki organisasi profesi!

Setiap organisasi profesi baik kedokteran maupun kesehatan bahkan OP lain yang non kesehatan (pekerja sosial, psikologi, anthropologi kesehatan dan lainnya) yang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan bagi pasien juga wajib membina para anggotanya agar melaksanakan dan menjaga alat bukti praktiknya (rekaman) dengan baik dan benar.

Demikian juga, peranan organisasi profesi PORMIKI (Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia) wajib membina anggotanya serta membantu praktisi kesehatan dan non kesehatan yang berwewenang terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan pasien atas pelaksanaan praktik manajemen informasi kesehatan secara handal di Indonesia. Oleh karena itu jelas bahwa PORMIKI haruslah dilibatkan. Bukankah PORMIKI sudah berusia 20 tahun (1989-2009), berkongres 6 kali dengan 14 DPD dan merupakan mitra kerja Departemen Kesehatan? Sesungguhnya setiap organisasi profesi kesehatan yang tidak hanya IDI dan PDGI saja harus memperhatikan mutu rekaman yang dihasilkan anggotanya yakni sebagai tanda bukti pelayanan kepada pasien. Dan PORMIKI sesuai tugas pokok dan fungsi organisasi mempunyai tugas dan kewajiban untuk membina praktik rekaman medis/kesehatan di Indonesia. Terlebih, PORMIKI sejak 1992 telah diakui sebagai anggota dari International Federation on Health Records Organizations (IFHRO) dan bahkan sejak 2007 hingga 2010, penulis yang juga sebagai pendiri dan pembina PORMIKI mendapat kepercayaan sebagai Direktur IFHRO SEAR membawahi 11 negara di Asia Tenggara setelah jabatan ini vakum sejak mulai berdirinya IFHRO di tahun 1968.

Kesimpulan : peraturan baru tentang Rekam Medis dengan nomor 269/MenKes/Per/III/2008 Bab I perlu diperbaiki dan begitu pula bab lainnya perlu dievaluasi lebih dalam.

Referensi

Gemala Hatta (ed)(2008). Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI- PORMIKI, UI Press, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1992. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta

Dokumen

Departemen Kesehatan RI. 1972. Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 031/Birhup/1972 tentang Rumah-Rumah Sakit Pemerintah.

______. 1972. Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 034/Birhup/1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit


______. 1978. Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 134/MenKes/SAK/IV/78 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum.


______. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan no. 749a/Menkes/PER/XII/89 tentang Rekam Medis (Medical Record).


______. 2008. Peraturan Menteri Kesehatan no. 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis

PB IDI, Kode Etik Kedokteran, 1969

Peraturan Pemerintah RI no. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

======================= GeHa =========================

24 June 2009

Notulen Workshop Pemetaan Kebutuhan Peraturan RKE

Menuju terbentuknya dasar hukum RKE: hasil diskusi RKE di UC UGM
By Anis Fuad Sun at 3:18am

Sabtu (13 Juni 2009), saya mengikuti diskusi di UC (University Club) UGM tentang rekam kesehatan elektronik (RKE). Diskusi ini sebenarnya merupakan sambuangan dari seminar RKE yang paginya diselenggarakan oleh D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan FMIPA UGM (bener ya…tahun ini berubah jadi bagian sekolah vokasi UGM?). Diskusi ini dipandu oleh dr. Tridjoko Hadianto (FK UGM) yang menyampaikan tujuan utama diskusi ini adalah untuk menerima masukan, saran, pandangan, pendapat dan pengalaman tentang RKE agar dapat dijadikan sebagai masukan pemerintah (Depkes) untuk merumuskan peraturan mengenai RKE. Diskusi dimulai dengan cetusan dari Prof Budi Sampurna (Ka. Biro Hukum dan Organisasi Depkes) tentang bermunculannya pertanyaan dari beberapa rumah sakit mengenai keabsahan rekam kesehatan elektronik. Bahkan ada rumah sakit yang mengajukan surat tertulis ke Menteri Kesehatan karena mereka berencana mengembangkan RKE.

Menurut Prof. Budi, Depkes memerlukan masukan tentang norma apa saja yang perlu dielaborasi lebih rinci menjadi dasar untuk membuat peraturan mengenai rekam kesehatan elektronik. Diharapkan setelah pertemuan tersebut, Depkes akan mencoba membuat norma dan kemudian akan mengundang para peserta untuk pertemuan tahap berikutnya. Selanjutnya akan dibuat norma (bukan norma penyanyi itu ya…) rekam kesehatan elektronik yang selama ini belum ada dasar regulasinya secara khusus meskipun Permenkes 269/2008 tentang rekam medis menyebutkan bahwa rekam medis pun dapat berupa rekam medis elektronik.

Selanjut Dr. Gemala Hatta menekankan pentingnya penguatan kondisi di lapangan selain aspek legal mengenai RKE. Contohnya adalah peran SDM sebagai syarat implementasi RKE. SDM (tidak hanya tenaga rekam medis dan TI, tetapi juga dokter, dokter gigi, perawat, bidan maupun tenaga medis lainnya yang berkepentingan RKE) harus memiliki kompetensi untuk mengelola RKE. Kompetensi mereka tentu saja tidak lepas dari peran lembaga pendidikan untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang dapat melaksanakan RKE (mestinya, termasuk kurikulumnya ya, Bu…). Selain itu, Bu Gemala menekankan pentingnya untuk siapa peraturan ini dibuat? Tentu saja, peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian kepada masyarakat, pelaku di lapangan (berarti dapat menyentuh ahli TI serta vendor yang berkecimpung dalam produk RKE) serta organisasi kesehatan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan (biasanya, kalo saya lagi sharing tentang RKE saya selipkan slide yang menampilkan 3 jenis ‘aliran rekam medis’: time oriented, source oriented dan problem oriented. kemudian saya pancing diskusi tentang persamaan dan perbedaan ketiganya. dalam persamaan saya tambahkan…kesamaannya adalah sama-sama paperless, alias tidak diisi).

Tidak lupa, beliau juga berkisah mengenai perjuangan AS yang cukup panjang untuk memperjuangkan RKE di seluruh saryankes (iki istilah standar Depkes ya…sarana pelayanan kesehatan) yang sampai sekarang pun belum semuanya menerapkan RKE. Pak Obama konon memberikan stimulus finansial cukup besar untuk menerapkan RKE. Disana proses yang panjang di AS tidak lepas dari aspek teknis, standar yang dipergunakan (salah satunya misalnya standar pertukaran HL 7), kemanan dan privacynya sampai dengan aspek interoperabilitas RKE. Pada intinya, bu Gemala menekankan pentingnya aspek pembenahan di lapangan selain membuat peraturan RKE (bisa juga dilihat dari sudut pandang sebaliknya ya…ketersediaan peraturan untuk mendorong pembenahan di lapangan ya?).

Tanggapan selanjutnya dari mas Jason, perawat pionir dokumentasi asuhan keperawatan elektronik di RSUD Banyumas yang berbagi pengalaman.Secara nekat (mas Jason menyebutnya demikian) penggunaan teknologi informasi sudah berjalan untuk pencatatan asuhan keperawatan (lihat catatan saya tentang belajar informatika keperawatan di RSUD Banyumas) , tetapi untuk aspek medis meskipun sudah revisi ke-4 tetapi sampai sekarang belum diimplementasikan. Senada dengan pendapat bu Gemala, yang penting jalan dulu standar teknis RKE juga belum menjadi perhatian utama, meskipun dari segi kemanan sudah cukup yakin.

Kepala bagian rekam medis Di RSUP Dr. Sardjito (dr. Endang) bercerita tentang kondisi rekam medis di Sardjito yang menurutnya mungkin belum bisa dikategorikan sebagai RKE tetapi sudah menggunakan database elektronik untuk memasukkan dan menyimpan data demografis dan morbiditas pasien, untuk tujuan pelaporan rutin dan non rutin, penelitian (yang ini nanti tetap harus membuka data rekam medis manual) serta klaim asuransi. Pihak manajemen melakukan KSO (kerjasama operasional) dengan pihak eksternal karena tenaga internal TI baru 10 orang. Saat ini baru merencanakan membuat pilot proyek di Obsgin dan Kulit Kelamin, karena kedua bagian tersebut memiliki keinginan kuat membangun RKE. Direksi akan memfasilitasi karena masih belum adanya kepahaman pandangan antara dokter dengan pihak pengembang. Dokter juga masih khawatir terhadap aspek kerahasiaan dan keamanan data. Selain itu juga masih mempertanyakan tentang tentang pemilik hak paten (tepatnya mungkin HAKInya ya Bu?) mengenai model aplikasi RKE tersebut jika dibuat bersama-sama dengan mitra vendor. Bulan Oktober 2009 diharapkan dapat diimplementasikan pada kedua bagian tersebut. Pada tahun 2011 diharapkan sudah bisa jalan untuk (semoga) semua rawat inap.

Peserta diskusi lainnya adalah wakil dari Puskesmas Purworejo (dokter siapa ya Bu…wah kemarin kok tidak kenalan satu persatu ya…) Beliau menjelaskan dari awal tentang kondisi di kabupaten Purworejo terdapat 27 puskesmas dan 20 diantaranya sudah menjalankan RKE dengan kondisi adopsi yang bervariasi. Mereka menggunakan SIK yang didukung dengan jaringan real time dari puskesmas ke dinas kesehatan. Rata-rata setiap puskesmas memiliki 4 komputer yang tersambung dalam LAN, di puskesmas tersebut malah terdapat 7 komputer yang tergabung dalam jaringan LAN. Setiap puskesmas tidak memiliki petugas khusus TI karena prinsipnya setiap puskesmas harus bisa menggunakan aplikasi tersebut. Di puskesmas tersebut dengan kunjungan 2400 per bulan, jika satu hari saja SIK error akan merepotkan karena beban tugas hari berikutnya untuk entry data bertambah banyak. Mereka mencoba berusaha untuk meninggalkan kertas sama sekali, tetapi masih khawatir karena pasokan listrik. Kalau sedang lancar2 saja kita sudah paperless, sehingga kalau ke apotik data obat sudah tersedia di sana. Memang yang enak adalah di pendaftaran juga memudahkan daripada mencari di family folder. Tetapi, karena sudah telanjur enak, jika ada gangguan listrik memang menjadi kelimpungan.

Saat ini di setiap ruang pengobatan, pelayanan paling tidak memerlukan bantuan 2 orang, yang pertama adalah dokter yang memeriksa pasien dan membuat terapi. Satu lagi adalah perawat yang selain membantu proses alur pasien, asuhan keperawatan juga bertugas sebagai operator. Keuntungan yang lain ada menghindari salah baca. Dulu orang nulis seenaknya, sekarang data tertulis dengan baik. Selain itu juga ada masalah yang berkaitan dengan daftar obat yang tertulis di aplikasi (generiknya) sedangkan petugas asisten apoteker kesulitan jika aplikasinya berbeda (ini berkaitan dengan persoalan human computer interface, ya….).

Dari Yogya, wakil dari Dinkes Provinsi DIY menyampaikan pengalaman implementasi proyek IHIS (Integrated Health Information System, bantuan loan Bank Dunia) yang telah membuat aplikasi berbasis komputer untuk puskesmas dan rumah sakit. Beberapa puskesmas telah menggunakan selain rumah sakit (RSUD Sleman, RSUD Kota, RSUD Wonosari dan PKU). Sebenarnya hampir sama dengan Sardjito karena baru mencatat data demografis, morbiditas umum serta transaksi yang sebenarnya untuk tujuan billing system. Di PKU pada awalnya lancar kemudian akhirnya lelet. Di Wonosari, karena pada waktu pelatihan awal pesertanya masih non PNS, setelah diangkat PNS pindah akibatnya implementasi macet. Dinas kesehatan provinsi menerima laporan dari 30-an rumah sakit yang mengirimkan data laporan rutin rumah sakit setiap tiga bulan sekali. Data RL 1-6 tersebut diterima secara manual dan diolah di Dinkesprov ke dalam database elektronik. Saat ini sedang dikaji tentang isi database tersebut untuk didiskusikan lagi lebih lanjut mekanisme yang lebih baik untuk memperbaiki kualitas pelaporan rutin rumah sakit.

Berbagai masukan tersebut dipetakan oleh dr. Rano dengan diagram mindmapping tentang kondisi RKE saat ini. Banyak cabang diagram yang sudah dituliskan oleh mas Rano (wis mas…pake diagram ini…pedoman RKEnya udah jadi he..he..he..) yang meliputi fitur dasar (OS, smart internal check, downtime, idle time, hak akses), fitur penunjang (pengisian lengkap dan akurat, Clinical reminder & alert.
Clinical management & DSS, Related data & knowledge based), terminologi dan kodefikasi (ada kepmenkes 844/2006), format data (terkait dengan berbagai bentuk data medis serta format data yang bermacam-macam maupun medianya), komunikasi data (dari komunikasi internal berbasis LAN sampai dengan luar organisasi pake Internet, SMS, MMS), medikolegal (anonimitas keamanan, privacy, confidentiality), prinsip pengembangan (outsourcing, inhouse development atau beli paket, perjanjian dan kewenangan dalam kemitraan dengan pihak ketiga), perekaman dan penyimpanan data (retensi dan pemusnahan bagaimana), penyajian, sistem keamanan data (backup, orginalitas, rekam jejak sampai dengan penanggung jawab jika sistem bermasalah).

Sehingga berdasarkan kajian tersebut di atas, definisi rekam kesehatan elektronik juga harus jelas apa batasannya, apakah baru rekam medis terotomasi, rekam medis terkomputerisasi (biasanya discan digital), rekam medis elektronik, rekam pasien elektronik atau sudah sampai kasta tertinggi rekam kesehatan elektronik (RKE). Hal ini menyangkut aspek internal organisasi dan keterkaitan dengan pengguna. Selain itu, juga kemampuan dan kondisi pengguna di lapangan. Pengertian klasifikasi tadi memang bersumber dari referensi di luar negeri. Di Indonesia kita tercinta, pengalaman lapangan menunjukkan variasi yang di tingkat paling bawah pun sangat beragam. Ada yang sudah menggunakan komputer, standalone utk menyimpan data pasien dengan isian data juga bervariasi. Ada yang sudah realtime multi user dengan LAN. Puskesmas, rumah sakit, klinik dan balai pengobatan pun juga dapat memiliki RKE dengan kondisi yang berbeda-beda.

Jika rumah sakit pendidikan, mestinya keinginan pengembangan lebih kuat daripada rumah sakit non pendidikan. Beberapa pengalaman di luar negeri menunjukkan bahwa keberhasilan RKE diantaranya karena sistem kesehatan memang sangat berbeda, dokter digaji tinggi, kalau tidak mengisi discharge summary tidak digaji, infrastruktur tidak bermasalah, pasien mungkin lebih sedikit. Sementara di tempat kita secara umum pasien banyak, waktu kerja sedikit, tenaga kesehatan terbatas, pasokan listrik tidak menentu, vendornya juga belum tahu. Jika disediakan aplikasi yang canggih, beban entrynya banyak, malah tidak terisi. Memang, tentu saja ada sebagian rumah sakit kita sudah seperti di luar negeri bahkan ada rumah sakit swasta yang vendornya pun juga dari luar negeri.

Sifat kontemporer TI juga perlu diperhatikan. Data medis pun sekarang banyak didukung oleh foto fisik selain foto yang berasal dari alat medis. Nah, fitur teknis tersebut wewenang siapa? Depkes atau Kominfo? Apakah Permenkes sampai detail seperti itu? Permenkes perlu sampai cukup detil seperti itu?

dr. Kinik dari RSUD Sragen menyampaikan pengalaman menarik tentang rumah sakitnya yang masih ragu-ragu menerapkan RKE tetapi malah sudah implementasi telemedicine. Menurut beliau, yang penting rumah sakit berharap agar tersedia peraturan untuk mendorong penggunaan RKE, termasuk yang tahap awal sekalipun. Kalau perlu dijelaskan proses pengembangan dan tahapannya. Sehingga rumah sakit dapat menyesuaikan dengan kemampuan mereka (SDM, finansial, infrastruktur) untuk mengikuti tahapan tersebut. Peraturan tersebut juga diharapkan dapat memicu praktek pribadi tentang sejauh mana RKE bisa diterapkan untuk praktek pribadi. Secara teknis, jika pemerintah memiliki model aplikasi juga menarik untuk dijadikan acuan. Juga diusulkan tentang sistem keamanan yang saat ini masih berorientasi kepada provider sebaiknya dilengkapi dengan sistem autentikasi dari kedua belah pihak (bagaimana jika pasien meninggal, ya gak usah diautentikasi, gampang wae to…). Nanti bisa mencegah kenakalan dokter/pelayanan medis. Intinya, suara dari bawah menginginkan landasan hukum tentang pembolehan dan standarnya seperti apa, dan tidak menakut-nakuti (apalagi pake ancaman pidana ya mas…). Perkara yang ideal akan terwujud 10 tahun lagi itu isyu lain lagi. Jika perlu bisa RKE dapat diperbolehkan diakses secara remote dan mobile. Untuk kepentingan distrik, jika perlu data individual bisa diakses meskipun data individu sudah dihilangkan. Di Sragen, wacana KTP dengan smart card yang dapat menyimpan data historis rekam medis beberapa kunjungan terakhir sedang diwacanakan.

Tentang perundangan, berbagai aspek hukum yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
UU 23 2006: Administrasi Kependudukan
UU 11 2008: ITE
UU 14 2008: Keterbukaan Informasi Publik
UU 29 2004: Praktek Kedokteran
Kepmenkes 269/2008: Rekam medis
Kepmenkes 844/2006: Kodefikasi data
ada juga UU kesehatan, Kepmenkes tentang standar profesi rekam medis dan beberapa lagi lainnya…

Akhirnya prof Budi menyampaikan bahwa payung hukum tentang RKE perlu. Tentu saja yang diinginkan adalah peraturan yang tidak akan membuat hukuman, tetapi justru mendorong penggunaannya. Isu mengenai registrasi, sertifikasi dan akreditas mengenai RKE penting dan ini harus dieleborasi lebih rinci lagi agar bisa dibuat norma hukumnya.

(wah menarik diskusinya…..banyak lagi yang perlu di PR-kan…kurikulum, detil masing-masing komponen…diskusi lagi..pembahasan..diskusi lagi…implementasi…)

Tulisan yang sama juga dimuat disini

06 June 2009

Enaknya RM elektronik, tinggal klik-klik saja, informasi langsung tersedia

(perlunya otentikasi dan otorisasi dalam RM elektronik)

Dalam sebuah pertemuan dengan rekan-rekan dari berbagai puskesmas disuatu wilayah, timbul suatu ungkapan yang cukup "mengejutkan".

Seorang rekan menyampaikan dengan semangatnya bahwa,

"Pak Rano, di puskesmas-puskesmas wilayah kami ini sekarang sudah dibangun jaringan komputer yang menghubungkan antar puskesmas. Dengan adanya jaringan komputer ini maka sekarang kami mudah untuk saling bertukar data.
Saya bisa mendapatkan data riwayat kesehatan seorang pasien yang berobat ke puskesmas XYZ tanpa saya harus jauh-jauh kesana. Tinggal klik-klik saja dan masukkan nama lengkap pasien, maka komputer akan menayangkan datanya yang didapatkan dari puskesmas XYZ tersebut.
Begitu juga jika ada petugas puskesmas lain yang membutuhkan data dari puskesmas saya maka sistem jaringan komputer yang akan mencarikannya, bukan saya.
Enak, cepat, praktis
."

Konfidensialitas RM
Saya segera menyadari bahwa telah terjadi kegembiraan dan kebanggaan yang keliru tentang penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sarana pelayanan kesehatan, minimal di wilayah rekan puskesmas saya tadi. Masuknya TIK dalam pelayanan kesehatan, khususnya dalam hal pengelolaan rekam medis (RM), diharapkan akan mempermudah akses terhadap informasi pasien bagi yang berhak namun akan mempersusah bagi yang tidak berhak.

Prinsip dasar bahwa RM bersifat confidential (rahasia) harus tetap berlaku, baik dalam bentuk manual/ kertas maupun (apalagi) dalam bentuk elektronik. Kemudahan yang ditawarkan oleh kemampuan TIK tidak lantas menjadikan RM menjadi mudah, cepat, dan praktis bagi siapa saja yang mau menggunakan. Kalau RM kertas tidak boleh dibaca oleh pihak yang tidak berhak, maka RM elektronik juga bersifat sama.

Jadi, hanya pihak tertentu saja yang boleh "masuk" dan mengetahui informasi dari RM elektronik.

Otentikasi dan Otorisasi
Suatu sistem RM elektronik (entah intra sarana maupun koneksi antar sarana yankes) diharakan minimal memiliki 2 bentuk pengaman terhadap privasi RM. Kedua bentuk pengaman tersebut yaitu otentikasi dan otorisasi.
Otentikasi merupakan bentuk pemastian terhadap pihak yang berhak untuk masuk dan menggunakan sistem.

Otentikasi bisa berupa:
1. something that you know (misalnya password)
2. something that you have (misalnya kartu akses)
3. something that you are (misalnya sidik jari, suara, warna mata)

Misalnya, untuk mengamankan laptop, HP, dan PDA, banyak pemilik yang melengkapi peralatan mereka itu dengan password. Jadi hanya mereka yang tahu (atau diberi tahu) passwordnya yang bisa menggunakan peralatan tersebut. Saat ini, sudah banyak pula peralatan pribadi semacam laptop, HP dan PDA yang menggunakan sidik jari untuk mengaktifkannya.
Untuk menggunakan mesin ATM suatu bank, kita harus menggunakan kartu ATM yang benar dan juga harus memasukkan password yang benar.

Nah, ini contoh bahwa mesin ATM menggunakan kombinasi dari kartu dan password untuk otentikasinya. Jika kita hanya menggunakan kartu ATM saja tapi lupa passwordnya, atau ingat passwordnya tapi tidak membawa kartunya, maka kita tidak bisa masuk ke sistem dan menggunakan mesin ATM tersebut.

Bentuk otentikasi yang manapun yang dipilih sebenarnya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Password misalnya, memang paling murah tapi juga (bisa) paling lemah. Aspek human error dalam pengelolaan password cukup tinggi. Cara pemilihan password yang baik, penyimpanannya, hingga ketertiban untuk mengganti password secara reguler menjadi kendala yang masih sering dijumpai. Sidik jari tidak perlu membeli, tapi peralatan untuk membaca dan mengenali sidik jari dirasakan masih cukup mahal meskipun sebenarnya sudah jauh lebih murah dibandingkan beberapa tahun yang lalu.

Otorisasi
Jika otentikasi "menghadang" calon pengguna di pintu gerbang sistem, maka otorisasi bertindak sebagai "satpam" yang menjaga agar pengguna sistem tidak "berkeliaran" ke wilayah yang tidak diijinkan. Jika ada tamu yang datang ke rumah kita, maka kita akan mempersilahkan untuk masuk (memberi otentikasi) dan mempersilahkan duduk di ruang tamu (memberi otorisasi di ruang tamu saja). Tamu tersebut tidak kita ijinkan untuk masuk ke ruang-ruang lain dalam rumah kita tanpa ijin kita. Itulah bentuk otorisasi, batasan hak untuk mengakses.

Seorang petugas pendaftaran pasien, mestinya tidak berhak (dan tidak perlu) untuk mengakses menu rekapitulasi pendapatan harian karena merupakan wilayah kerja kasir. Kasir hanya bertugas untuk memasukkan transaksi pelayanan saja, tidak boleh bisa langsung menghapus atau mengganti data transaksi yang telah diposting (harus seijin dan sepengetahuan supervisornya).

Jika kita berbelanja di toko swalayan, maka saat membayar di kasir bisa kita lihat bahwa kasir hanya menginputkan barang-barang yang dibeli. Kasir tidak bisa mengganti harga atau menentukan diskon. Cobalah untuk membatalkan satu atau beberapa barang yang sudah diinputkan ke mesin kasir. Mestinya kasir tidak bisa menghapus atau mengganti transaksi yang sudah diinputkan. Kasir harus meminta bantuan supervisornya untuk mengaktifkan menu koreksi transaksi karena supervisor yang tahu passwordnya dan yang berhak melakukannya. Setelah koreksi dilakukan, supervisor menutup kembali menu tersebut.

Dalam pengertian ini, mesin ATM hanya menggunakan otentikasi, tanpa otorisasi. Jadi jika seseorang memegang kartu ATM dan tahu passwordnya, maka dia bisa masuk ke semua menu transaksi (pada umumnya) di ATM tersebut.

Bagaimana dengan otentikasi dan otorisasi pada sistem rekam medis elektronik?
Pada prinsipnya sama saja. Hanya mereka yang berhak yang boleh menggunakan sistem (berarti juga bisa mengetahui informasi yang terkandung dalam sistem) dan hanya pada area yang diijinkan sesuai dengan tugasnya.

Tidak setiap petugas di puskesmas (atau RS, atau sarana lainnya) tersebut boleh menggunakan sistem jaringan rekam medis elektronik yang ada. Dan, tidak semua pengguna memiliki batasan kewenangan akses yang sama. Ada yang hanya berhak menginput data, ada yang tidak berhak nge-print, tidak berhak meng-copy, tidak berhak melihat data selain di bagiannya, dan sebagainya. Tentu saja (dan umumnya), direktur dan jajarannya memiliki otoritas tertinggi sehingga bisa mengakses semua menu yang tersedia.

Pemahaman tentang otentikasi dan otorisasi ini tidak hanya untuk sistem rekam medis elektronik saja tapi juga (seharusnya) diterapkan pada setiap peralatan komputer yang berisi informasi yang harus dijaga konfidensialitasnya.

Bagaimana dengan sistem komputer di tempat kerja Anda ?

23 July 2007

Program Transfer S-1 Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) di FIK-UMS

Fakultas Ilmu Kedokteran Univ Muhammadiyah Surakarta - Program studi Kesehatan Masyarakat membuka program transfer S-1 MIK.

Program ini untuk menampung minat alumni D3 Kesehatan (APIKES, AKPER, AKBID, AKZI, AKLI, dll) dan D3 non Kesehatan (D3 manajemen, D3 komputer, dll) guna melanjutkan studi di bidang peminatan MIK.

Program dengan jadwal 4 semester ini dijadwalkan untuk kuliah setelah jam kerja.

Pendaftaran telah dimulai.
Brosur lengkap program transfer S1 MIK di FIK-UMS dapat didownload langsung disini:
halaman 1 dan halaman 2

26 June 2007

FORMULIR REKAM MEDIS TANGGAP DARURAT BENCANA (RM-TDB)

(Sebuah ulasan dari pengalaman)

Latar belakang

Setiap sarana pelayanan kesehatan sudah selayaknya menyiapkan diri untuk mengantisipasi kejadian bencana di wilayahnya, atau membantu pelayanan kesehatan di wilayah lain yang terkena bencana. Rekam medis (RM) merupakan suatu bentuk catatan yang merekam segala bentuk layanan kesehatan yang telah (bahkan yang akan) diberikan kepada pasien. Pencatatan layanan kesehatan ini dilakukan melalui berbagai cara dalam berbagai bentuk. Sejak dari kedatangan pasien, pencatatan identitas pasien, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, rencana terapi dan tindakan, hingga hasil pelayanan semua harus terekam dengan lengkap. Berbagai bentuk RM meliputi tulisan, cetakan, foto, video, suara, hingga bentuk kombinasinya (multi media) selayaknya tersusun rapi sesuai urutan kejadiannya hingga tercipta dokumen rekam medis yang akurat, informatif, rasional, reasonable (beralasan), dan responsible (dapat dipertanggungjawabkan).

Setelah selesai episode layanan maka RM wajib disimpan agar terjaga dari kehilangan atau kerusakan yang bisa diakibatkan oleh manusia (termasuk karena huru-hara), hewan (tikus; rayap; kecoa; semut; dsb), kekuatan alam seperti api; debu; air; cahaya matahari; bencana alam; gangguan listrik (pada rekam medis elektronik / rekam kesehatan elektronik), serta gangguan teknis seperti kerusakan perangkat keras (hardware); media penyimpan (storage); dan perangkat lunak (software).

Penyimpanan berkas RM dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya berkas kertas; microfilm; microfice; floppy disk; CD; dan harddisk. Dalam bentuk dan media apapun, penyimpanan RM harus mengikuti aturan masa peyimpanan (retensi) dan akhirnya juga aturan tata cara pemusnahannya.

Pelaksanaan dari keseluruhan prosedur pengelolaan RM ini secara rutin telah dilaksanakan di berbagai unit pelayanan kesehatan, terutama di rumah sakit. Dalam kondisi pelayanan rutin (harian) pengelolaan RM “terasa” seperti kegiatan rutin yang nyaris berjalan tanpa beban berarti. Namun dalam kondisi tertentu seperti dalam kondisi terjadi bencana, pengelolaan RM masih menjadi sesuatu yang perlu ditelaah dan dikembangkan. Situasi bencana yang hiruk pikuk, panik, dengan beban kerja yang mendadak tinggi dan tuntutan kecepatan pelayanan dengan tingkat resiko meningkat dan standar pelayanan (medis) yang tetap harus terjamin, menjadikan proses pencatatan layanan kesehatan kedalam bentuk RM membutuhkan fokus yang semestinya disederhanakan tanpa melanggar berbagai aspek pendukung lainnya.

Beberapa aspek pendukung proses pelayanan RM antara lain aspek medis, aspek etika profesi perekam medis, aspek hukum kesehatan, aspek manajemen pelayanan kesehatan, dan aspek teknologi informasi & komunikasi.

Bencana yang dimaksudkan dalam tulisan ini dapat meliputi bencana alam (gempa bumi; banjir; tsunami; kebakaran), bencana karena manusia (misalnya huru-hara), bencana teknis (gangguan listrik; gangguan sistem; gangguan hardware dan software).
Ilustrasi kasus

  • Pelaksanaan layanan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit (RS) tenda pada suatu kejadian bencana ternyata sempat menyisakan pengelaman menarik dari sejawat medis yang bertugas. Selama memberikan layanan di RS, sejawat dokter ini mencatat rencana dan hasil layanan dalam berkas RM yang kemudian RM ini disimpan (diletakkan) menggantung di tempat tidur pasien. Cara penyimpanan seperti ini bertujuan untuk mempercepat pencarian RM karena tidak tersedia ruang filing yang memadai. Pada suatu hari, salah satu pasien (atau beberapa pasien ?) tidak berada lagi ditempatnya pada saat dokter akan melakukan visite. Pasien yang “hilang” ini ternyata sudah dibawa pulang oleh keluarganya (atau dipindahkan ke RS lain) tanpa ijin dan prosedur dari petugas setempat. Masalahnya lagi adalah bahwa pindahnya (atau perginya?) pasien ini ternyata membawa serta berkas RM yang digantung ditempat tidurnya. Akibatnya RS tenda tersebut tidak memiliki RM si pasien. Padahal, menurut peraturan yang (masih) berlaku disebutkan bahwa RS wajib membuat, menyimpan, dan mengelola berkas RM sesuai standar yang berlaku.
  • Pada saat terjadi gempa bumi skala besar dan tsunami, banyak RS yang rusak berat termasuk ruang filingnya. Kejadian ini mengakibatkan RS tersebut kehilangan sebagian besar (bahkan bisa seluruh) berkas RMnya termasuk persediaan formulir RM. Beberapa saat setelah bencana, masyarakat mulai berdatangan ke RS tersebut untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagai korban bencana. Dalam melayani korban bencana ini, pihak RS akhirnya menggunakan kertas seadanya dan mencatat seadanya/sebisanya dan akhirnya menyimpan “RM”nya ini sebisanya juga. Hasilnya, banyak RM darurat ini yang hilang tercecer karena diperlakukan sebagai kertas catatan biasa.
  • Tim relawan bidang RM yang berangkat ke lokasi bencana untuk membantu proses pelayanan RM di RS lokasi bencana umumnya membawa serta formulir-formulir RM dari RS asalnya untuk langsung digunakan di RS lokasi bencana. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa RS lokasi bencana kesulitan atau tidak lagi memiliki formulir-formulir RM yang dibutuhkan untuk melayani korban bencana. Selain membawa formulir RM umumnya tim relawan ini juga membawa serta dan menerapkan sistem pelayanan RM sebagaimana yang biasanya mereka laksanakan di RS asalnya. Hal ini bisa dikatakan sebagai tahap adopsi dalam masa awal pasca bencana. Selama masa adopsi ini hampir bisa dipastikan bahwa banyak hal yang kurang sesuai sehingga perlu dilakukan proses adaptasi. Dalam proses adaptasi ini perlu dilakukan penyesuaian antara sarana kerja (formulir RM), ketersediaan dan kemampuan SDM, alur dan prosedur pelayanan, bahkan kadang-kadang juga melibatkan penyesuaian budaya kerja.
  • Kondisi bencana / pasca bencana tentu tidak lepas dari liputan dan tayangan media massa, termasuk penayangan korban bencana dengan berbagai kondisi trauma dan penyakitnya. Sampai dimana sebenarnya sharing informasi untuk keadaan seperti ini? RM bersifat rahasia dan hanya boleh dibuka informasinya atas ijin pasien yang bersangkutan dan untuk pihak-pihak yang berhak. Apakah sifat confidential RM ini masih harus berlaku pada kondisi bencana?
    Ulasan

Hingga saat ini ada berbagai peraturan pengelolaan RM yang diterbitkan oleh pemerintah misalnya:

  • Permenkes 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang penyelenggaraan RM,
  • PP no.10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran,
  • SK Menkes no.034/Birhup/1972 tentang perencanaan dan pemeliharaan RS,
  • SK Dirjen Yanmed no.78 tahun 1991 tentang penyelenggaraan RM,
  • Permenkes no.585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik,
  • SE Dirjen Yanmed no:HK.00.06.1.5.01160 tentang petunjuk teknis pengadaan formulir RM dasar dan pemusnahan arsip RM,
  • UU 23/1992 tentang kesehatan, dan
  • UU 29/2004 tentang praktek kedokteran, dan sebagainya.

Berbagai peraturan ini secara jelas dan tegas mengatur pengadaan dan pengelolaan RM di sarana pelayanan kesehatan, terutama di RS. Namun sayangnya, berbagai peraturan ini belum menyentuh aspek pengelolaan RM pada situasi dan kondisi bencana. Berbagai pertanyaan mulai muncul dan layak untuk segera dicari alternatif solusinya, antara lain:

  • Apakah ada model formulir RM yang memang dirancang untuk digunakan saat kondisi bencana?
  • Apa saja minimal yang harus dicatat/direkam dalam RM dari pelayanan kesehatan saat bencana?
  • Bagaimana pencatatan sistem identifikasi pasien saat bencana?
  • Berapa lama masa retensi berkas RM dari para korban bencana?
  • Bagaimana aspek hukum pelayanan kesehatan dalam pengelolaan RM saat bencana?
    Informasi apa saja yang boleh dilepaskan oleh pihak RS mengenai isi berkas RM dari pasien korban bencana?
  • Bagaimana batasan hak dan kewajiban pasien korban bencana terhadap berkas RMnya?
  • Apakah ada prosedur pelaporan khusus untuk pelaporan RM saat bencana?
  • Bagaimana menyiapkan diri / RS agar lebih siap menghadapi bencana dan mengelola RM saat bencana?

Menilik dan mempelajari berbagai kejadian bencana (terutama bencana alam) di Indonesia selama ini, jelas dapat dilihat bahwa saat ini belum ada model formulir RM yang memang dirancang untuk digunakan saat kondisi bencana. Belum ada model prosedur dan formulir yang bisa diterapkan untuk mengelola RM pada saat bencana dan dapat segera diadopsi untuk berbagai kondisi bencana diberbagai wilayah Indonesia dengan berbagai ragam mutu SDM, sarana, dan budaya. Mungkinkah disusun model RM seperti ini?

Disain formulir RM tanggap darurat bencana (RM-TDB)

Pemikiran disain formulir RM melibatkan 3 hal yang saling terkait, yaitu: aspek fisik formulir, aspek anatomik formulir, dan aspek isi formulir.

Aspek fisik formulir RM-TDB
Aspek fisik formulir RM-TDB meliputi pertimbangan terhadap bahan, ukuran, bentuk/model, dan warna.

Bahan untuk formulir RM-TDB sebaiknya dipilih bahan yang tidak mudah rusak/kusut dan mudah ditulisi. Pertimbangan ini berkaitan dengan situasi bencana yang relatif panik, serba-cepat, dan cenderung-kacau. Dalam kondisi ini biasanya orang akan bekerja dengan tempo dan gerakan yang lebih cepat dan “kasar” dibanding kondisi normal. Dengan situasi dan cara kerja seperti ini maka cara memegang, mengambil, dan meletakkan barang-barang termasuk alat tulis dan formulir RM juga lebih “keras/kasar” dari biasanya. Pilihan bahan ini juga sebaiknya bahan yang mudah ditulisi agar tidak menimbulkan kesulitan saat mengisi formulir tersebut. Kesulitan seperti ini selain bisa mengakibatkan ketidaklengkapan pengisian juga berpotensi menimbulkan kejengkelan pada petugas pengisinya. Beberapa jenis kertas seperti kertas minyak atau kertas yang mengandung lapisan minyak/lilin atau sejenisnya biasanya termasuk jenis kertas yang sulit ditulisi. Jenis ini tentu menghambat dan memperlambat kerja pengisian formulir nantinya.

Pemilihan bahan ini juga berkaitan dengan masa simpan (masa retensi) dari formulir RM yang secara umum adalah minimal 5 tahun sejak pelayanan terakhir. Untuk RM pasien yang berkaitan dengan kasus hukum (medikolegal) masa retensinya jauh lebih lama sekitar 20 tahun. Jadi, berkas RM-TDB dari pasien korban huru-hara harus disimpan sebagaimana RM medikolegal. Untuk bisa disimpan selama 5 tahun atau lebih dibutuhkan bahan kertas yang baik. Kertas buram adalah contoh kertas yang kurang baik untuk disimpan dalam jangka lama.

Ukuran dari suatu formulir RM, termasuk RM-TDB mempertimbangkan beberapa hal antara lain: jumlah item dan kebutuhan ruang isiannya, cara pengisiannya (ditulis; diketik; atau diprint), cara menyimpannya (ukuran map/foldernya; ukuran laci; atau dibawa pasien seperti kartu berobat), sikap/posisi saat menggunakan/mengisi formulir (diisi di atas meja; diisi sambil berdiri dengan landasan map; dsb). Untuk RM-TDB, mengingat situasi dan kondisi saat bencana, maka kemungkinan besar pengisiannya adalah dengan berdiri berlandasan map atau bahkan mungkin sambil bergerak dari satu tempat/satu pasien ke tempat/pasien lainnya. Dengan mengingat hal ini maka ukuran RM-TDB lebih baik tidak terlalu besar karena akan mempersulit proses pengisiannya. Ukuran yang sesuai dengan map penyimpannya (misalnya A4) bisa mempermudah proses pengisian karena map tersebut sekaligus bisa digunakan untuk landasan saat mengisinya. Dalam hal kaitan dengan jumlah item isi dan kebutuhan ruang isiannya, apabila memungkinkan bisa dirancang untuk dicakup dalam satu lembar. Bila membutuhkan lebih dari satu lembar kertas maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan kertas ukuran dobel (double A4) yang dilipat untuk menghindari kemungkinan tercecernya lembar-lembar RM-TDB tersebut. Jika menggunakan kertas ukuran besar dengan model dilipat maka rancangan penempatan item isi dan ruang isiannya harus sesuai dengan posisi dan cara melipat halamannya.

Bentuk atau model formulir RM-TDB secara langsung berkaitan dengan ukuran formulir dan tata letak item-item isinya. Hal ini telah dibahas dalam paragraf terdahulu.

Warna formulir RM-TDB dapat dipertimbangkan untuk berbeda dari formulir RM rutin lainnya. Hal ini untuk membantu mengidentifikasi formulir tersebut saat dibutuhkan. Meskipun dibedakan, namun jenis warna yang dipilih tetap harus memperhatikan aspek kenyamanan pada mata pengguna, nilai kontrasnya dengan warna tulisan cetakan serta nilai kontrasnya terhadap tinta yang secara umum digunakan untuk mengisi formulir tersebut. Formulir dengan bahan kertas berwarna coklat masih bisa kontras dengan tinta cetaknya namun akan timbul kesulitan waktu mengisi dengan menggunakan tinta hitam atau biru karena nilai kontrasnya menjadi rendah. Selain pemilihan warna bahan kertasnya, warna tinta cetaknya juga perlu diperhatikan untuk tidak menggunakan warna muda karena cenderung sulit atau bahkan tidak tampak bila suatu saat formulir tersebut hendak difotokopi.

Aspek anatomik formulir RM-TDB
Secara umum aspek anatomik suatu formulir RM, termasuk juga RM-TDB, terdiri dari 5 bagian yaitu: heading, introduction, instruction, body, closing.

Heading dari formulir RM-TDB minimal terdiri dari dan berisi: identitas formulir (nama formulir; kode formulir; dan nomor edisi/revisi), identitas institusi (nama RS), dan nomor halaman.

Introduction berisi keterangan singkat tentang formulir RM-TDB tersebut. Keterangan singkat ini bisa meliputi: kapan formulir tersebut digunakan dan tujuan penggunaannya.

Instruction berisi petunjuk/perintah singkat berkaitan dengan cara pengisian formulir dan pendistribusian lembar tembusan (bila ada).

Body merupakan bagian inti dari formulir yang berisi item-item formulir tersebut. Rancangan pada bagian body ini meliputi pemikiran mengenai: item-item yang harus tercantum, pengelompokan item (grouping), penyusunan urutan penempatan item (sequencing), penempatan item dalam kolom/field-nya (caption), serta pemilihan terminologi (istilah, simbol, dan singkatan) yang tepat untuk masing-masing item.

Closing dari formulir RM-TDB merupakan bagian penutup yang sama pentingnya dengan bagian lain. Closing formulir berisi keterangan mengenai tempat pelayanan, tanggal, nama dan tanda tangan pemberi layanan. Kadang-kadang dibutuhkan pula keterangan tentang jam layanan, misalnya untuk pemeriksaan yang peka terhadap perjalanan waktu (EKG, laboratorium, dsb).

Aspek isi formulir RM-TDB
Rancangan isi dari formulir RM-TDB meliputi: pemilihan model RMnya, penentuan item-item yang harus tercantum, dan penentuan cara pengisian masing-masing item tersebut.

Model rancangan formulir RM dapat berupa Source oriented medical record (SOMR), Problem oriented medical record (POMR), atau Structured medical record (SMR). Mengingat formulir RM-TDB diharapkan dapat digunakan dalam kondisi bencana dengan berbagai keterbatasan dan berbagai tuntutan, maka perlu pertimbangan yang matang untuk memutuskan model yang akan digunakan, apakah SOMR; POMR; atau SMR. Masing-masing model tersebut tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. SMR dapat dipertimbangkan karena rancangannya akan menghasilkan formulir yang terstruktur sedemikian sehingga formulir tersebut dapat digunakan untuk mencatat berbagai masukan dengan alur area pencatatan yang benar. Dengan model SMR dapat dirancang RM-TDB dengan jumlah lembar yang minimal. Ini penting untuk diperhatikan agar RM-TDB-set tidak terdiri dari banyak lembar yang akhirnya akan menyulitkan petugas layanan kesehatan saat menggunakannya.

Isi RM-TDB dirancang sedemikian rupa sehingga mencakup item-item yang minimal harus tercatat dalam proses pelayanan kesehatan saat bencana. Mengacu pada jurnal AHIMA (American Health Information Management Association) yang membahas disaster planning, maka isi RM-TDB perlu diminimalkan untuk menjaga kemudahan dan kecepatan penggunaannya. Namun, minimalnya isi RM-TDB tidak berarti dan tidak boleh menjadikannya kehilangan fungsi dasarnya sebagai RM dan tetap harus memenuhi persyaratan aspek-aspek pendukungnya (hukum, medis, etika profesi, dan manajenen pelayanan kesehatan).

Secara umum isi RM dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu data identitas pasien dan data medis pasien. Masih diperlukan diskusi dan telaah mendalam untuk menyepakati item-item yang harus tercantum (minimal requirement) dalam formulir RM-TDB. Pemikiran dan pemilihan item ini menjadi bagian yang sangat penting mengingat proses pengisian formulir RM-TDB harus bisa cepat dan mudah namun mampu menghasilkan RM yang akurat, informatif, rasional, reasonable, dan responsible. Pemilihan, pencantuman, dan pengurutan item-item tersebut hendaknya juga memikirkan aspek tindak lanjut dari informasi yang terkandung dalam formulir RM-TDB, misalnya aspek pengolahan statistiknya, aspek keabsahan hukumnya, dan aspek kelengkapan serta keakuratan kode diagnosis dan tindakannya.

Selain item yang merupakan catatan kondisi pasien, perlu juga dicantumkan kelompok item yang menyatakan “identitas bencana”nya, misalnya: natural event (banjir, gempa bumi), unintentional event (kecelakaan transportasi), dan intentional event (kejadian teroris, huru-hara), tempat kejadian, saat/jam kejadian, dan identitas bencana lainnya.

Cara pengisian masing-masing item tersebut juga harus diatur dan dirancang agar dalam pengisiannya bisa cepat, lengkap, dan akurat. Cara pengisian dengan cara memilih bisa menjadi cara yang tepat untuk digunakan karena mempercepat pengisian dan mengurangi aspek “pengisian yang terlewatkan” karena lupa atau tergesa-gesa. Cara pengisian seperti ini bisa digunakan sejak dari anamnesa, pemeriksaan fisik, hingga ke penentuan kode diagnosis dan kode tindakan. Dengan demikian, pengelompokan (grouping) dan urutan (sequence) dari item-item isian juga sangat penting untuk diperhatikan agar mampu menuntun pengisi RM sehingga hasil isiannya menjadi selengkap dan seakurat mungkin.
Penggunaan gambar/skema tubuh manusia yang sudah tercetak di formulir untuk menunjukkan lokasi luka juga akan mempermudah pengisian dibandingkan dengan model isian narasi untuk mendeskripsikan hal yang sama. Beberapa item mungkin tidak bisa menggunakan cara pengisian dengan cara memilih. Untuk item-item seperti ini maka harus disediakan area pengisian yang cukup sesuai dengan kebutuhan isinya. Area yang terlalu sempit akan mengakibatkan pengisian yang tidak lengkap atau bahkan kosong. Sebaliknya, area pengisian yang terlalu luas (berlebihan) akan menyebabkan ukuran formulir yang “membengkak”.

Pengisian Identitas pasien perlu diperhatikan berkaitan dengan cara pengisian RM-TDB dan penentuan status kegawatdaruratan pasien. Kode warna dapat digunakan pada rancangan formulir RM-TDB yang menunjukkan tingkat kegawatan seorang pasien, misalnya: hitam, merah, kuning, dan putih.

Sistem identifikasi bisa dipertimbangkan untuk menggunakan kode nomor RM yang berbeda dari pelayanan rutin. Keuntungannya yaitu tidak mengganggu alokasi penggunaan nomor RM untuk pelayanan rutin dan lebih mudah / cepat dalam mengidentifikasi pasien korban bencana. Formulir RM-TDB sebaiknya sudah mencantumkan nomor RM sehingga menghindari kerepotan pengisiannya, menghindari kemungkinan terjadi penggunaan satu nomor untuk lebih dari satu RM-TDB, dan juga untuk menghindari RM-TDB yang tidak bernomor. Sistem pencantuman nomor secara pre-printed ini dikombinasikan dengan kartu kecil yang siap untuk digantungkan pada tubuh pasien. Kartu kecil ini sebaiknya terbuat dari kertas yang agak tebal (misalnya karton manila) dengan ukuran maksimal seperti KTP dan berisi minimal keterangan mengenai nama pasien, nomor RM-TDB, dan status kegawatdaruratannya. Nomor RM-TDB dalam kartu kecil ini sudah tercetak (pre-printed) dan sama dengan nomor RM-TDB yang juga sudah tercetak di lembar RM-TDBnya. Kartu kecil ini disarankan memiliki lubang dan sudah dilengkapi dengan karet atau benang sehingga siap digantungkan atau diikatkan ditubuh pasien, misalnya di ibu jari tangan/kaki pasien. Dengan adanya kartu kecil di tubuh pasien ini maka setiap kali petugas mendatangai pasien bisa langsung mengecek kesesuaian identitas pasien dengan RM-TDB yang ada disampingnya. Hal ini diharapkan bisa mempercepat proses pelayanan, mengatasi pengulangan dalam menanyakan identitas pasien, dan menghindari tertukarnya RM-TDB. Dalam kartu kecil ini bisa dicetak “identitas awal” dari korban bencana, misalnya “Korban No: #1” yang mana identitas ini sama dengan lembar RM-TDBnya. Dengan adanya identitas preprinted ini maka kekeliruan identitas antara kartu dengan lembar RM dapat dihindari. Hal ini juga dapat digunakan untuk memberi identitas terhadap pasien yang belum dikenali identitas aslinya.

Selain nama dan nomor RM, identitas penguat lainnya perlu dipertimbangkan misalnya pencantuman cap ibu jari tangan (sidik jari) atau pengambilan foto pasien dengan bantuan teknologi digital.

Formulir terkait lainnya.
Beberapa formulir lain selain RM-TDB misalnya yaitu: formulir daftar benda milik pasien (termasuk surat keterangan diri), dan formulir/kartu catatan kesehatan pribadi pasien (Keep It With You / KIWY-form). Perancangan dan penggunaan formulir KIWY mungkin perlu dipikirkan untuk menjadi kebiasaan setiap warga memiliki dan membawanya.

Kesimpulan
Masih dibutuhkan pemikiran mendalam dan komprehensif untuk merancang suatu model formulir RM yang dapat digunakan sebagai formulir standar untuk kondisi tanggap darurat bencana.

Rancangan formulir RM-TDB perlu “didampingi” dengan prosedur tetap untuk mengisian dan penggunaannya. Selanjutnya, rancangan formulir RM-TDB perlu diuji coba dan disosialisasikan penggunaannya agar terdapat kesamaan persepsi pemanfaatannya.

Formulir hanya merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dengan serangkaian kegiatan lainnya dalam pelayanan kesehatan, termasuk dalam kondisi tanggap darurat bencana. Perancangan formulir tanpa disertai pembenahan rangkaian aspek lainnya hampir dapat dipastikan tidak terasa manfaatnya.

25 January 2007

INFORMED CONSENT

Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan
Rencana Tindakan Medis


dr. Rano Indradi S, M.Kes
(Health Information Management Consultant)

Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination). Dalam artikel ini akan dipaparkan pelaksanaan dari 3 hak mendasar tersebut berkaitan dengan proses pengisian formulir pernyataan menyetujui terhadap suatu rencana tindakan medis. Proses untuk menyatakan setuju ini disebut dengan Informed Consent. Hak dan kewajiban yang lain dari seorang pasien akan dipaparkan dalam artikel yang lain.

Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya sehingga perlu dipotong melalui operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-kadang dokter yang merawat perlu melakukan tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi, pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut guna memperjelas penyebab penyakit.

Hak atas informasi
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu :
Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :

  • Bentuk tindakan medis
  • Prosedur pelaksanaannya
  • Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya
  • Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya
  • Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan
  • Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif tersebut

Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas,
Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya,
Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut


Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.

Kriteria pasien yang berhak
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :

Pasien tersebut sudah dewasa. Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
Pasien dalam keadaan sadar. Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
Pasien dalam keadaan sehat akal.

Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya.
Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.

Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat akal”.
Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.

Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.

Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerima APAPUN resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien TIDAK AKAN menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.

----- o0o -----

Antara “Lama Dirawat (LD)” dan “Hari Perawatan (HP)”


dr. Rano Indradi S, M.Kes
(Health Information Management Consultant)


Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit (RS) dikenal dua istilah yang masih sering rancu dalam cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaannya. Dua istilah tersebut adalah Lama Dirawat (LD) dan Hari Perawatan (HP). Masing-masing istilah ini memiliki karakteristik cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda.


Lama Dirawat (LD)
LD menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode perawatan. Satuan untuk LD adalah “hari”. Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari RS, hidup maupun mati) dengan tanggal masuk RS. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama – LDnya dihitung sebagai 1 hari.

Contoh penghitungan LD:

Beberapa istilah lain yang timbul berkaitan dengan penghitungan LD, antara lain: total LD (ΣLD) dan rerata LD. ΣLD menunjukkan total LD dari seluruh pasien yang dihitung dalam periode yang bersangkutan.


Contoh penghitungan Σ LD di suatu bangsal atau suatu RS:

Ket:

  • o : tanggal masuk
  • x : tanggal keluar
  • A-H : kode pasien
  • Pasien G sampai akhir bulan Juni belum pulang
  • Pasien H masuk tanggal 20 Mei

Pada tabel diatas, tampak bahwa:

  • pasien A dirawat selama 7 hari,
  • pasien B dirawat 1 hari (masuk dan keluar pada hari yang sama),
  • LD pasien G belum dapat dihitung karena pasien tersebut belum pulang, dan
  • LD pasien H (masuk tanggal 20 Mei) adalah 18 hari.

Dari tabel diatas pula tampak bahwa ΣLD periode Juni di bangsal Mawar tersebut adalah 76 hari. Dengan cara membagi ΣLD dengan jumlah pasien yang keluar pada periode tersebut maka didapatkan rerata LD periode Juni di bangsal Mawar, yaitu: Rerata LD = 76 / 7 = 10,86 hari

Angka rerata LD ini dikenal dengan istilah average Length of Stay (aLOS). aLOS merupakan salah satu parameter dalam penghitungan efisiensi penggunaan tempat tidur (TT) suatu bangsal atau RS. aLOS juga dibutuhkan untuk menggambar grafik Barber-Johnson (BJ). Kesalahan dalam mencatat dan menghitung LD berarti juga akan menyebabkan kesalahan dalam menggambar grafik BJ dan kesalahan dalam menghitung tingkat efisiensi penggunaan TT.

Jadi, untuk bisa menghitung LD dibutuhkan data tentang tanggal masuk dan tanggal keluar (baik keluar hidup maupun mati) dari setiap pasien. Umumnya data ini tercantum dalam formulir “Ringkasan Masuk dan Keluar (RM-1)”.
Dalam beberapa kasus tidak cukup hanya mencatat tanggal masuk dan keluar saja, tapi juga butuh mencatat jam pasien tersebut masuk perawatan dan keluar perawatan, terutama jika pasien tersebut keluar dalam keadaan meninggal. Data jam ini dibutuhkan untuk menentukan apakah pasien tersebut meninggal sebelum atau sesudah 48 jam dalam perawatan. Angka statistik yang berkaitan dengan jam meninggal ini adalah Gross Death Rate (GDR) dan Net Death Rate (NDR).


Hari Perawatan (HP)
Jika LD menunjukkan lamanya pasien dirawat (dengan satuan “hari”), maka HP menunjukkan banyaknya beban merawat pasien dalam suatu periode. Jadi satuan untuk HP adalah “hari-pasien”.


Cara menghitung HP berbeda dengan cara menghitung LD (seperti telah dijelaskan terdahulu) maupun menghitung Sensus Harian Rawat Inap (SHRI). Dalam SHRI, maka angka utama yang dilaporkan adalah jumlah pasien sisa yang masih dirawat pada saat dilakukan penghitungan / sensus, sedangkan HP menghitung juga jumlah pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama meskipun saat dilakukan sensus pasien tersebut sudah tidak ada lagi.


Kembali pada ilustrasi penghitungan LD diatas:


Ket:

  • o : tanggal masuk
  • x : tanggal keluar
  • A-H : kode pasien
  • Pasien G sampai akhir bulan Juni belum pulang
  • Pasien H masuk tanggal 20 Mei
  • Diasumsikan tgl 14-24 tidak ada pasien masuk maupun keluar.

Dari tabel diatas tampak, bahwa:

  • HP tanggal 5 Juni yaitu 5 hari-pasien, berarti tanggal 5 Juni beban kerja bangsal Mawar setara dengan merawat 5 pasien termasuk 1 orang pasien yang masuk dan keluar pada hari itu,
  • HP tanggal 6 Juni yaitu 4 hari-pasien, berarti tanggal 6 Juni beban kerja bangsal Mawar setara dengan merawat 4 pasien,
  • HP tanggal 13 Juni 2 hari-pasien, berarti tanggal 13 Juni beban kerja bangsal Mawar setara dengan merawat 2 pasien, dan
  • HP tanggal 30 Juni 1 hari-pasien, berarti tanggal 30 Juni beban kerja bangsal Mawar setara dengan merawat hanya 1 pasien.
  • Total HP (ΣHP) selama bulan Juni yaitu 73 hari-pasien, berarti selama bulan Juni beban kerja bangsal Mawar setara dengan merawat 73 pasien (atau rerata beban kerjanya selama bulan Juni setara dengan merawat 2,4 pasien per hari).

Dibandingkan dengan hasil sensus (SHRI), maka yang tampak berbeda adalah hasil SHRI tanggal 5 Juni dengan hasil penghitungan HP pada tanggal yang sama. Jika HP tanggal 5 ada 5 hari-pasien, maka SHRI tanggal 5 adalah 4 pasien. Berarti pada tanggal 5 beban bangsal Mawar setara dengan merawat 5 pasien, namun pada saat dilakukan penghitungan sensus (umumnya dilakukan menjelang tengah malam) yang tersisa tinggal 4 pasien. Dengan pengertian ini maka angka HP lebih bisa memberi gambaran mengenai beban kerja dibandingkan hasil sensus.

Dari angka HP dapat dihitung angka lainnya, misalnya:

  • Jumlah TT terpakai (Occupaid bed / O) = ΣHP dibagi jumlah hari dalam periode tersebut.
    Dalam contoh tabel diatas, berarti O = 57/30 = 1,9 buah.
  • Tingkat penggunaan TT (Bed Occupancy Rate / BOR) = ΣHP dibagi (jumlah hari dikali jumlah TT tersedia) dikali 100%. Dalam contoh tabel diatas dengan asumsi bangsal Mawar memiliki 5 buah TT siap pakai, berarti BOR bangsal Mawar periode Juni = 57/(30x5)x100% = 57/150x100%=38%.
  • Rerata jumlah hari dimana TT tidak terpakai atau TT menganggur (Turn Over Interval / TOI) = ((jumlah TT x jumlah hari)- ΣHP) / jumlah pasien keluar periode tersebut.
    Dalam contoh tabel diatas dengan asumsi terdapat 5 TT siap pakai, berarti TOI bangsal Mawar periode Juni = ((5x30)-57)/7=13,3 hari (jumlah pasien keluar periode Juni ada 7 orang menurut tabel diatas). Jadi detiap TT rata-rata kosong 13,3 hari sebelum ditempati oleh pasien baru.

Kesimpulan
Jelas sudah bahwa LD dan HP berbeda cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaannya. Sangat disayangkan bahwa masih cukup banyak RS yang tertukar dalam menggunakan LD dan HP untuk menghitung rumus-rumus indikator pelayanan rawat inap. Demikian pula antara LD, HP, dan SHRI.
Dengan memperhatikan cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang benar antara LD, HP, dan SHRI maka akan didapatkan informasi yang lebih akurat dan valid untuk manajemen pasien rawat inap.

12 August 2006

Pemanfaatan Informasi Kesehatan Untuk Pemasaran *)

Oleh: Rano I S

Latar Belakang
Perkembangan komputerisasi informasi kesehatan telah semakin meningkatkan baik sisi penyimpanan maupun menggunaan data kesehatan. Seorang profesional informasi kesehatan harus memahami bagaimana mengelola berbagai jenis permintaan berkaitan dengan informasi kesehatan. Permintaan informasi kesehatan untuk keperluan pemasaran semakin banyak, baik dari dalam maupun dari luar institusi. Ada kebutuhan yang yang signifikan tentang data kesehatan individual untuk kebutuhan pemasaran secara langsung. Contoh penggunaan eksternal tentang hal ini meliputi kebutuhan dari pemasok medis, alat bedah, dan perusahaan farmasi – yang membutuhkan informasi mengenai konsumen potensial. Perusahaan-perusahaan ini berminat untuk membeli daftar nama individual untuk kebutuhan pemasaran mereka. Dalam kaitan ini, data pasien sangat mungkin untuk digunakan sebagai konsumen potensial dalam hal pemberitahuan adanya fasilitas baru (misalnya, pasien penyakit jantung akan dikontak untuk pemberitahuan adanya fasilitas pemeriksaan atau pengobatan baru di unit pelayanan jantung / coronary care unit).

Contoh kebutuhan internal misalnya penggunaan data pasien untuk penawaran pelayanan atau suatu fasilitas. Daftar ini bisa merupakan daftar dari individu terpilih melalui kriteria tertentu yang memenuhi kategori khusus dari dari layanan yang ditawarkan.

Sebagai konsumen, kita juga sering menerima selebaran, brosur, atau leaflet yang berkaitan dengan pemasaran secara massal. Mereka yang tidak ingin hidupnya diganggu dengan model pemasaran massal ini tentu tidak akan mengisi informasi pada lembar yang telah disediakan. Penolakan untuk mengisi dan melengkapi instrumen pengumpulan data seperti kartu garansi, lembar undian, dan lembar pilihan konsumen, akan memutus rantai informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan pemasaran tersebut.

Data yang terkandung dalam berkas informasi kesehatan pasien tidak dapat diperlakukan sama dengan informasi yang terkumpul melalui kertu garansi atau lembar undian seperti diatas. Sekali disalahgunakan, informasi kesehatan dapat merusak dan membahayakan profesi pasien dan kehidupan pasien. Seorang profesional pelayanan kesehatan memikul tanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terkumpul saat melayani pasien. Pihak rumah sakit, perawat, profesi manajemen informasi kesehatan, dokter, terapis, dan petugas pelayanan kesehatan lainnya akan menanggung resiko tanggung jawab apabila kerahasiaan informasi dari rekam medis pasiennya tidak terjaga sebagaimana mestinya.

Informasi Rahasia vs. Informasi Tidak Rahasia
Saat menghadapi permintaan untuk pelepasan informasi, selalu harus diingat untuk membedakan jenis informasi mana yang bersifat rahasia dan informasi yang tidak rahasia. Informasi rahasia dapat meliputi antara lain data klinis dan alamat pasien saat keluar – apabila berbeda dengan alamat saat masuk / mendaftar. Pelepasan informasi kesehatan yang berkaitan dengan penggunaan alakohol dan penyalahgunaan obat selayaknya mengacu pada aturan pemerintah yang berlaku. Begitu juga pelepasan informasi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dan kondisi sensitif lainnya, harus sangat hati-hati dan memperhatikan batasan hukum yang berlaku.

Informasi yang tidak rahasia adalah hal-hal yang secara umum telah diketahui. Untuk jenis informasi ini tidak dibutuhkan ijin khusus daripasien untuk pelepasannya. Informasi tidak rahasia antara lain :

· Nama pasien
· Verifikasi perawatan atau pelayanan rawat jalan
· Tanggal pelayanan
Penggunaan Sekunder dari Informasi Kesehatan
Berkas rekam medis telah menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi individu dan institusi yang tidak terlibat secara langsung dalam pelayanan kesehatan dan proses pembayaran. Kita harus tetap mengingat prinsip dasar pelepasan informasi kesehatan pada saat mengelola permintaan informasi dari mereka yang tidak terkait langsung dengan pelayanan. Ingatlah bahwa berkas rekam medis (apapun bentuknya) adalah milik rumah sakit / provider pelayanan kesehatan, tapi informasi kesehatan yang terkandung di dalamnya merupakan milik pasien.

Pelepasan informasi kesehatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjamin hak pasien terhadap privasi dan kerahasiaannya. Berkaitan dengan semakin luas dan semakin meningkatnya penggunaan sekunder dari informasi kesehatan, Sekretaris bidang Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan (Secretary of Health and Human Services) Donna Shalala mengajukan rekomendasi kepada Konggres AS pada tanggal 11 September 1997, tentang kerahasiaan informasi kesehatan. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain :

· Informasi yang berkaitan dengan identitas pasien hanya boleh dibuka dengan ijin dari pasien atau atas perintah pengadilan
· Informasi tentang pasien selayaknya hanya digunakan dalam lingkungan organisasi untuk tujuan yang sesuai dengan tujuan pengumpulan data dan informasi pasien tersebut
· Provider dan penanggung pembayaran tidak diijinkan untuk mengakses catatan kondisi, pengobatan, pembayaran, dan lembar kesepakatan pasien – kecuali bila informasi itu dibutuhkan untuk keperluan pengobatan atau pembayaran.
· Semua pelepasan informasi yang berkaitan dengan identitas pasien harus diupayakan seminimal mungkin dan hanya untuk kebutuhan pelepasan informasi itu saja.
Shalala juga mengajukan rekomendasi kepada Konggres AS berkaitan dengan pembatasan penggunaan informasi kesehatan, antara lain :
· Provider dan penanggung pembayaran diijinkan untuk menggunakan informasi kesehatan hanya untuk kebutuhan yang berkaitan langsung dengan tujuan pengumpulan informasi tersebut, atau untuk tujuan yang memang mereka diberi hak untuk menggunakan infomasi kesehatan tersebut. Misalnya, provider boleh menggunakan informasi kesehatan berkaitan dengan identitas pasien untuk mengirim surat pemberitahuan yang mengingatkan jadwal kontrol. Informasi kesehatan berkaitan dengan identitas pasien ini tidak boleh digunakan untuk pengiriman surat pemberitahuan adanya produk atau jasa servis baru – walaupun mungkin produk atau jasa tersebut bermanfaat bagi si pasien.
· Kenyataan bahwa organisasi (RS) memegang keberadaan informasi tidak lalu menjadikan organisasi tersebut dapat menggunakan informasi itu dengan “seenaknya” baik untuk keperluan didalam maupun diluar organisasi. Organisasi pemegang informasi ini justru harus bisa menentukan dengan tepat dan secara eksplisit – aktifitas mana yang berkaitan langsung dengan kegiatan pelayanan kesehatan mereka – untuk menjamin penggunaan informasi kesehatan yang berkaitan dengan identitas pasien. Penggunaan lainnya hanya dapat dibenarkan setelah ada ijin dari pasien, atau atas permintaan pengadilan.

Rekomendasi Untuk Mengelola Permintaan Pemasaran
· Lakukan peninjauan / review terhadap kebijakan pelepasan informasi yang berlaku. Apakah kebijakan tersebut telah mengatur pula pengelolaan permintaan informasi untuk keperluan pemasaran ?
· Tentukan aturan kepemilikan untuk pelepasan informasi bagi keperluan pemasaran. Pastikan juga siapa yang bertanggung jawab terhadap proses ini.
· Kembangkan kebijakan yang mengatur akses terhadap informasi pasien untuk tujuan pemasaran baik internal maupun eksternal. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan ini adalah dengan advokasi kepada direksi yang berwenang (institutional review board). Jika institusi / RS Anda belum memiliki institutional review board, Anda dapat bekerja sama dengan komite yang bertanggung jawab untuk hal ini – misalnya manajer informasi kesehatan atau komite rekam medis.
· Lindungi identitas pasien dan provider. Identitas pasien dapat diambil dari berbagai elemen data. Data tunggal maupun kombinasi yang dapat berisi identitas pasien, antara lain : nama, nomor RM, tanggal lahir, jenis kelamin, status marital, pekerjaan, alamat, nomor telepon, termasuk juga karakteristik fisik yang unik.
· Latih dan didik staf terkait tentang issue sekitar penggunaan sekunder dari informasi kesehatan – siagakan mereka agar selalu sadara terhadap tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan pelepasan informasi kesehatan.
· Bersikaplah proaktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penggunaan informasi pasien.
· Ikuti perkembangan mengenai hukum dan peraturan yang berkaitan dengan hal ini

Sumber :

Julie J. Welch, RRA, Issue: Release of Information for Marketing Purposes, Journal of AHIMA, Januari 1998
*) Artikel ini pernah dimuat dalam buetin ESSENSI (buletin rekam medis dan manajemen informasi kesehatan) edisi 3